Welcome

Selamat Datang Pecinta Cerita Phutri

Kamis, 06 Maret 2014

Pentingnya Memilih Teman Bergaul


Pentingnya Memilih Teman Bergaul

"Berteman jangan suka milih-milih." Kata-kata itu tepat untuk orang yang sombong yang hanya mau bergaul dengan orang yang ia pikir selevel dengan dia. Tapi sejatinya kata-kata itu tidak sepenuhnya benar. Kita juga harus menyeleksi teman bergaul. Hanya kriterianya yang harus tepat. Jangan gunakan kriteria yang menjerumuskan kita menjadi orang yang sombong dan tidak baik. Tapi gunakan kriteria yang akan membuat kita menjadi anak yang baik.

Sombong kalau kriteria teman kita adalah anak orang kaya saja (udah sombong, matre pula). Sombong kalau kriteria teman kita itu yang ganteng atau cantik saja. Intinya, kalau kita mengambil standar duniawi sebagai teman, maka kita bisa termasuk sombong. Dalam hadits, Rasulullah mendefinisikan sombong sebagai merendahkan manusia. "Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia." (HR. Muslim)

Memang pertemanan itu ada tingkatan-tingkatannya. Ada yang hanya kenalan. Ada yang teman biasa seperti teman kelas, teman les. Ada juga teman yang lumayan dekat yang kita sering berinteraksi dengannya, ini yang disebut teman bergaul. Dan ada juga yang lebih dekat lagi yang kita sebut sebagai sahabat. Dalam berteman, jangan sampai kita merendahkan orang lain. Janganlah kita hanya mau punya teman bergaul dari orang-orang yang kita pilih berlandaskan keduniaan dan menghindari pergaulan dengan orang lain karena kita meremehkan orang tersebut.

Bagaimana kriteria yang menjadikan kita anak yang baik? Pastinya, kriteria yang berdasarkan pada kebaikan. Maksudnya, kita memilih teman bergaul yang kita sering berinteraksi dengan mereka dari kalangan orang-orang yang berakhlak baik, sholeh, rajin belajar, gemar menabung, suka menjahit dan memasak... Ups kebanyakan...

Pergaulan itu bisa menularkan perilaku seseorang kepada temannya. Tak sedikit anak baik-baik yang terjerat narkoba hanya karena salah memilih pergaulan. Seorang anak dari keluarga yang tidak merokok bisa jadi perokok karena bergaul dengan teman-teman perokok. Dan sebagaimana watak buruk itu menular, watak baik pun bisa menyebar melalui pergaulan. Itulah makanya Rasulullah berpesan untuk memperhatikan teman bergaul.

“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101, dari Abu Musa)

Dalam menjelaskan hadits ini Imam An-Nawawi berkata, “Hadits ini berbicara tentang keutamaan bergaul dengan orang-orang yang soleh, pelaku kebaikan, tata krama, akhlak mulia, wara’, berilmu, dan mempunyai sopan santun. Sebaliknya, hadits ini melarang kita bergaul dengan pelaku kejahatan, pembuat bid‘ah, suka menggunjing, berbuat dosa, dan sikap tidak terpuji lainnya.”

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda: “Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian”. (HR. Abu Daud no. 4833, Tirmidzi no. 2378, Ahmad 2/344, dari Abu Hurairah)

Imam Al Ghozali rahimahullah mengatakan, “Bersahabat dan bergaul dengan orang-orang yang pelit, akan mengakibatkan kita tertular pelitnya. Sedangkan bersahabat dengan orang yang zuhud, membuat kita juga ikut zuhud dalam masalah dunia. Karena memang asalnya seseorang akan mencontoh teman dekatnya.” (Tuhfatul Ahwadzi, 7/42)

Kalau di sekolah ada ekstrakurikuler Rohani Islam, inilah kumpulan anak-anak sholeh yang sangat direkomendasikan jadi teman bergaul kita. Banyak sifat baik di komunitas ini yang bisa tertular pada kita.

Ali bin Abi Thalib ra berkata, “Hati-hatilah kalian dalam memilih teman, sesungguhnya teman adalah bekal di dunia dan akhirat.”

sumber; islamedia

PERAN PENDIDIKAN DALAM MENGATASI PERGAULAN BEBAS DI KALANGAN REMAJA


Masa remaja bagi sebagian besar orang merupakan masa-masa transisi, dari anak-anak menjadi dewasa. Pada masa ini, seringkali remaja mengalami masa “pencarian identitas”. Berbagai usaha dilakukan oleh para remaja untuk menunjukkan eksistensi diri mereka. Mulai dari gaya berbusana, maupun mengikuti kontes ajang bakat. Pergaulan menjadi kunci sejauh mana mereka dapat menunjukkan eksistensi dirinya. Pergaulan yang bebas terkadang membuat para remaja tidak dapat mengontrol dirinya, sehingga mereka terjerumus terlalu jauh. Banyak contoh, misalnya : free sex, pemakaian narkoba, drag race, dan lain sebagainya.


Sebab pergaulan bebas
Ada banyak hal yang menyebabkan para remaja ini terjerumus dalam pergaulan bebas, antara lain :
a. Kurangnya perhatian dari orang tua,
Perceraian atau ketidakharmonisan orang tua seringkali menjadi pemicu utama para remaja kemudian mencari pelarian atas permasalahannya, biasanya mereka mengkonsumsi narkoba maupun minuman keras, untuk melupakan sesaat permasalahan mereka. Selain itu, kesibukan orang tua juga menyebabkan orang tua tidak lagi memiliki waktu untuk sekedar mengobrol dengan anak-anak mereka, sehingga anak-anak mereka mencari cara untuk menarik perhatian mereka.
b. Penerimaan dalam kelompok,
Para remaja biasanya memiliki geng-geng atau kelompok-kelompok sepermainan. Masing-masing kelompok memiliki ciri khas sendiri, atau kegiatan khas tersendiri. Untuk dapat diterima sebagai anggota kelompok, biasanya remaja yang termasuk dalam kelompok ini harus mengikuti aturan dalam kelompok. Misalnya, cara berbusana, maupun minuman-minuman keras.
c. Kurangnya aqidah,
Pemahaman remaja tentang aqidah (Islam), yaitu tentang perintah dan larangan Allah, saat ini terasa sangat minim. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan agama di rumah, bahkan di sekolah pun pelajaran agama hanya diberikan selama dua jam pelajaran dalam satu minggu.

Keluarga sebagai sekolah pertama
Untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para remaja ini diperlukan kerjasama orang tua, sekolah, dan masyarakat. Keluarga, dalam hal ini orang tua, merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi remaja sebagai generasi penerus bangsa. Keluarga memiliki tanggung jawab yang besar dalam mencetak pemimpin bangsa. Keluarga adalah institusi pertama yang meletakkan informasi fondasi kepribdian yang kuat, dengan kata lain pendidikan di keluarga seyogyanya dimulai sejak dini, atau pada saat anak masih di dalam rahim. Pendidikan awal yang ditanamkan oleh orang tua terhadap anaknya ialah dasar aqidah yang kuat. Pada saat anak masih dalam kandungan, ia terbiasa mendengarkan kata-kata manis dan lembut dari ibunya dan lantunan ayat-ayat Al-qur’an.
Ada tiga tahap perkembangan pendidikan anak (dalam keluarga) menurut Islam. Tahap pertama, yaitu pada saat anak berusia 0-7 tahun adalah pertumbuhan balita, dimana akan sangat membutuhkan pemeliharaan dan kash sayang seorang ibu. Setelah anak mulai belajar berbicara, peranan ibu sangat vital. Sebab bahasa yang pertama kali dikenal oleh anak adalah bahasa ibu. Daam usia 6 tahun anak harus diajarkan adab sopan santun untuk membentuk akhlaqul karimah sang anak.
Pada tahap kedua, usia 7 sampai 10 tahun adalah adalah tahap pemeliharaan anak, menyampaikan nasehat-nasehat Islami, dikenalkan kewajiban-kewajibannya sebagai muslim. Tahap ta’dib (pengawasan) adalah tahap pada saat anak menjelang akil baligh (7-15 tahun). Tahap ini merupakan masa yang penting karena merupakan saat anak mengalami pubertas/perubahan. Oleh karena itu anak harus dikenakan hukuman bila melanggar kewajiban yang dibebankan kepadanya.
“Suruhlah anakmu mengerjakan shalat pada usia 7 tahun dan pukullah pada usia 10 tahun bila mereka tidak shalat, pisahkanlah tempat tidur mereka” (HR. Al Hakim dan Abu Daud)
Tahap ketiga, jika anak telah mencapai usia baligh (lebih kurang ), dapat dikatakan anak memasuki tahap penyempurnaan kepribadian (dewasa) dan mulai dibebankan kepada tanggung jawab. Dalam hal ini anak mulai dikenalkan cara mandiri untuk mencari nafkah dan lebih bertanggung jawab dengan dirinya sendiri.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal
Setelah anak memasuki usia 5 tahun, peran keluarga dan masyarakat (lingkungan) tidak lagi mencukupi kebutuhan pendidikan anak. Pada usia ini anak perlu mendapatkan proses yang terstruktur dalam suatu kurikulum. Satu-satunya lembaga yang mampu menyelenggarakan fungsi in adalah sekolah. Pendidikan di sekolah dilakukan berjenjang : tingkat dasar, menengah, dan perguruan tinggi. Proses pendidikan di suatu jenjang seharusnya dikembangkan serta dikokohkan di jenjang berikutnya
Sekolah melaksanakan peran pendidikan ini melalui tiga perangkat, yaitu: kurikulum berlandaskan aqidah Islam, guru/tenaga pendidikan yang profesional serta berkepribadian Islam, serta sarana dan prasarana yang kondusif untuk melakukan proses pembentukan sifat adil dan kapabilitas kepemimpinan pada anak. Pendidikan kepribadian Islam di sekolah harus dilakukan pada semua jenjang pendidikan sesuai dengan proporsinya, dengan berbagai pendekatan.
Kurikulum di sekolah harus disesuaikan dengan perkembangan anak, dan sesuai dengan Islam, tentunya. Pada tingkat TK sampai SD, matri kepribadian Islam yang diajarkan adalah materi-materi dasar. Hal ini mengingat anak didik berada pada usia menuju baligh, sehingga lebih banyak materi yang bersifat pengenalan guna menumbuhkan keimanan. Setelah mencapai usia baligh (SMP, SMU, dan Perguruan Tinggi), materi yang diberikan bersifat lanjutan : pembentukan, peningkatan, dan pematangan. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara dan sekaligus meningkatkan keimanan serta keterikatan terhadap syariat Islam.
Selain kurikulum yang berlandaskan aqidah Islam, guru dan pengelola pendidikan juga berperan penting dalam pembentukan kepribadian siswa. Untuk bisa memberikan materi secara forma struktural dan nonstruktural guru harus menguasai materi dan mampu menyajikannya dengan baik. Guru tidak hanya berperan sebagai penyampai materi semata, akan tetapi lebih jauh lagi berperan sebagai tauladan (uswah) yang baik. Tanpa teladan dari guru sulit diharapkan tertanamnya kepribadian Islam pada anak didik.
Budaya sekolah merupakan proses yang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam proses pendidikan. Contohnya: mengingatkan teman (sesama siswa) yang berbuat tidak baik, dengan cara yang ma’ruf. Atau pihak sekolah memberikan sanksi yang tegas bagi mereka yang tidak menutup aurat (menojolkan aurat / berpakaian tidak sopan), bergaul yang tidak Islami, membuang sampah sembarangan, dan lain sebagainya.

Masyarakat sebagai “polisi sosial”
Kontrol dari masyarakat juga diperlukan guna mengatasi bahaya yang lebih besar lagi, karena lingkungan masyarakat merupakan tempat remaja tersebut hidup. Masyarakat merupakan lingkup pendidikan nonformal, dimana remaja belajar bersosialisasi dan menerapkan apa yang ia dapatkan dari keluarga dan sekolah. Selain itu, dengan besosialisasi dengan masyarakat dan lingkungannya, remaja juga belajar tentang norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat, misalnya norma kesopanan, norma susila, norma hukum, dan lain sebagainya. Kontrol dari masyarakat juga diperlukan untuk membentuk perilaku remaja itu. Masyarakatlah yang mengingatkan para remaja yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, misalnya : drag race liar, remaja berlainan jenis yang berdua-duaan, dan lain sebagainya. Namun, kondisi yang sekarang ini dalam masyarakat sudah mulai terkesampingkan. Masyarakat tidak lagi menjadi “polisi sosial”.

Kesimpulan
Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Diharapkan kerjasama dari ketiganya akan mampu mengatasi bahaya pergaulan bebas di kalangan remaja. Keluarga bukan hanya tempat para remaja ini untuk menumpang hidup, makan dan tidur semata, melainkan di dalam keluarga para remaja akan memperoleh pendidikan informal sebagai bekal mereka hidup di luar lingkungan keluarganya. Jangan sampai keluarga hanya tahu mereka baik di dalam rumah, tetapi di luar rumah mereka lepas kendali. Jadi, harus ada komunikasi di antara kedua belah pihak. Sekolah juga bukan hanya tempat ia mencari ilmu, melainkan juga sebagai tempat ia untuk belajar mandiri dan bersosialisasi dengan masyarakat. Masyarakat sebagai “polisi sosial” harus mampu mengontrol tingkah laku para remaja. Masyarakat tidak boleh bertindak masa bodoh, acuh tak acuh melihat pergaulan para remaja yang sudah melanggar norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakatnya.

Teman buat Anakku

Setiap anak membutuhkan teman. Oleh karena itu, menjadi kewajiban orang tua untuk memilihkan teman yang baik bagi anak-anaknya.
Pendidikan anak ternyata tak sebatas dalam lingkup keluarganya semata. Ketika kematangan sosial anak terus bertambah, bertambah pula ruang lingkupnya. Teman menjadi satu kebutuhan tersendiri bagi si anak. Teman bermain, teman belajar di sekolah, suatu saat menjadi bagian hidup seorang anak.
Pada saat itulah, orang tua harus menyadari betapa pentingnya pengawasan mereka terhadap anak-anak. Mengarahkan anak-anak, memilihkan teman yang baik untuk mereka, menjadi kewajiban bagi setiap orang tua yang menghendaki keselamatan anak-anaknya. Tidak jarang terjadi, orang tua yang telah berusaha menanamkan budi pekerti yang baik pada anak-anaknya di tengah keluarganya, mendapati anaknya menjadi seorang yang bengal dan rusak, akibat salah bergaul dengan teman-temannya.
Ini tidaklah mengherankan, karena bagaimanapun teman akan memberikan pengaruh yang besar terhadap diri seseorang. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan hal ini dalam ucapan beliau yang disampaikan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang itu berada di atas agama temannya, maka hendaklah setiap kalian memperhatikan siapa yang dia jadikan teman.” (HR. Abu Dawud no. 4833, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abu Dawud)

Oleh karena itu, siapa saja yang diridhai agama dan akhlaknya hendaknya dijadikan teman, dan siapa yang tidak seperti itu hendaknya dijauhi, karena tabiat itu akan saling meniru. (‘Aunul Ma’bud, Kitabul Adab, Bab Man Yu`maru an Yujaalisa)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan gambaran yang jelas tentang perbedaan antara teman yang baik dan teman yang jelek. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيْسِ السُّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ المِسْكِ وَكِيْرِ الْحَدَّادِ: لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ المِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيْهِ أَوْ تَجِدَ رِيْحَهُ، وَكِيْرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَيْتَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيْحًا خَبِيْثَةً

“Perumpamaan teman duduk yang baik dan teman duduk yang jelek seperti penjual misik (sejenis minyak wangi, red.) dan pandai besi. Tidak lepas dirimu dari penjual misik, bisa jadi engkau membeli darinya atau pun engkau mendapati bau harumnya. Sementara pandai besi, bisa jadi dia membakar rumah atau bajumu atau engkau dapati bau yang tidak sedap darinya.” (HR. Al-Bukhari no. 2101 dan Muslim no. 2628)

Dalam ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini terkandung keutamaan duduk bersama orang-orang yang shalih, yang memiliki kebaikan, muru`ah, akhlak yang mulia, wara’, ilmu serta adab. Juga terkandung larangan duduk bersama orang-orang yang jelek, ahlul bid’ah, orang yang suka menggunjing orang lain, atau sering melakukan perbuatan fajir, banyak menganggur, dan berbagai macam perbuatan tercela lainnya. (Syarh Shahih Muslim, 16/177)
Inilah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di dalamnya terkandung larangan duduk bersama orang yang dapat mengakibatkan kerugian pada agama maupun dunia, serta anjuran untuk duduk bersama orang yang dapat diambil manfaatnya bagi agama dan dunia. (Fathul Bari 4/410)
Dalam kitab-Nya yang mulia, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan hamba-hamba-Nya agar selalu bersama orang-orang yang beriman dan senantiasa kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla, serta menjauhi orang-orang yang lalai dari mengingat Allah ‘Azza wa Jalla sehingga Allah ‘Azza wa Jalla menghukum mereka dengan dilupakan dari mengingat-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla melarang hamba-hamba-Nya menaati orang seperti ini, karena akan menggiring mereka untuk mencontohnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang senantiasa menyeru Rabb mereka pada pagi dan senja hari dengan mengharapkan wajah-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah mengikuti orang yang hati-Nya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta mengikuti hawa nafsunya, sementara keadaan mereka sia-sia.” (Al-Kahfi: 28)

Di dalam ayat ini didapati perintah untuk bergaul dengan orang-orang yang baik, dan mengupayakan diri untuk tetap bersama mereka serta bergaul dengan mereka, walau mereka adalah orang-orang yang fakir. Karena bergaul bersama mereka membuahkan faidah yang tidak terhitung banyaknya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 475)
Dengan begitu, orang tua wajib mengarahkan anak-anak, serta menekankan mereka untuk memilih kawan, teman duduk maupun teman dekat yang baik. Hendaknya orang tua menjelaskan kepada anak tentang manfaat di dunia dan di akhirat apabila duduk dan bergaul dengan orang-orang shalih, dan bahaya duduk dengan orang-orang yang suka melakukan kejelekan ataupun teman yang jelek. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal. 154)
Sudah menjadi kewajiban orang tua untuk mencari tahu setiap keadaan anak, menanyakan tentang teman-temannya. Betapa banyak terjadi seorang anak yang jelek mengajak teman-temannya untuk berbuat kemungkaran dan kerusakan, serta menghiasi perbuatan jelek dan dosa di hadapan teman-temannya. Padahal anak kecil seringkali meniru, suka menuruti keinginannya serta suka mencari pengalaman baru. Oleh karena itu, orang tua hendaknya berupaya agar anak berteman dengan teman-teman yang baik dan shalih, serta berasal dari keluarga yang baik. Di samping itu juga berupaya untuk memuliakan teman-teman si anak agar mudah memberi bimbingan dan arahan pada mereka dan mereka pun akan bersikap lembut di hadapan orang tua. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal. 155)
Bila suatu ketika orang tua mendapati anaknya berbuat kejelekan dan kerusakan, tidak mengapa orang tua berusaha mencari tahu tentang keadaan anaknya. Walaupun dengan hal itu mereka terpaksa melakukan salah satu bentuk perbuatan tajassus (mata-mata). Ini tentu saja dengan tujuan mencegah kejelekan dan kerusakan yang terjadi, karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak menyukai kerusakan. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal. 156)
Inilah kiranya sebuah kewajiban yang tak boleh dilupakan oleh setiap orang tua. Hendaknya orang tua mengingat sebuah ucapan yang dituturkan oleh ‘Amr bin Qais Al-Mala`I rahimahullahu:

إِنَّ الشَّابَّ لَيَنْشَأُ، فَإِنْ آثَرَ أَنْ يَجْلِسَ أَهْلَ العِلْمِ كَادَ أَنْ يَسْلَمَ، وَإِنْ مَالَ إِلَى غَيْرِهِمْ كَادَ أَنْ يَعْطَبَ

“Sesungguhnya pemuda itu sedang tumbuh. Maka apabila dia lebih mengutamakan untuk duduk bersama orang-orang yang berilmu, hampir-hampir bisa dikata dia akan selamat. Namun bila dia cenderung pada selain mereka, hampir-hampir dia rusak binasa.” (Dinukil dari Lammud Durril Mantsur minal Qaulil Ma`tsur, bab Hukmus Salaf ‘alal Mar`i bi Qarinihi wa Mamsyahu no.517)


Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

-disalin ulang dari majalah AsySyariah rubrik Permata Hati ; Penulis Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu Imran-

sifat anak pemalas

Kali in saya akan membahas tentang 16 Ciri Orang Malas, Ciri-Ciri Orang Malas di bawah ini:

  1. Anda Sendirilah yang sanggup melakukan sesuatu tetapi Malas untuk mengerjakan nya.
  2. Anda yang diberi Kemudahan untuk melakukan sesuatu tetapi menganggap nya payah untuk mengerjakan.
  3. Anda yang berpeluang/ada waktu untuk melakukan Sesuatu tetapi mencari alasan untuk tidak mau mengerjakan nya.
  4. Anda yang sering melakukan sesuatu tetapi mengatakan tidak biasa mengerjakan nya.
  5. Anda yang diberi kemudahan untuk melakukannya tetapi mengatakan suntuk untuk melaksanakan nya.
  6. Anda yang bisa melakukan sesuatu tetapi berpura - pura tidak bisa mengerjakan nya.
  7. Anda tahu cara melakukan sesuatu itu tetapi Anda malas untuk mengerjakan nya.
  8. Anda yang ditugaskan melakukan sesuatu tetapi menolak untuk mengerjakan nya dengan berbagai alasan.
  9. Anda biasa melakukan sesuatu tetapi Anda selalu mengelak untuk mengerjakan nya.
  10. Anda Bisa Melakukan Sesuatu tetapi Anda enggan untuk mengerjakan nya.
  11. Anda yang paling sedikit berbuat sesuatu tetapi mengatakan telah sangat banyak melakukan nya.
  12. Anda yang banyak peluang tetapi tidak mau mencoba untuk melakukan nya.
  13. Anda berusaha melakukan sesuatu tetapi Anda tidak mau melaksanakan nya.
  14. Anda yang seharusnya melakukan sesuatu tetapi mengelak untuk mengerjakan nya.
  15. Anda yang paling Ahli dalam melakukan sesuatu tetapi mengatakan tidak pernah mengerjakan nya.
  16. Anda belum tahu lagi apa berhasil apa tidak dalam melakukan sesuatu tetapi anda malas melaksanakannya.
Apakah Anda Seorang Pemalas ?? Lihat pada diri anda sendiri.

Jangan Sampai Tinggalkan Shalat Lima Waktu!

Tak kenal maka tak sayang. Peribahasa ini nampaknya menjadi sebab utama, kenapa banyak dari kaum muslimin tidak mengerjakan shalat. Tak usah jauh-jauh untuk melaksanakan sholat sunnah, sholat 5 waktu yang wajib saja mereka tidak kerjakan padahal cukup 10 menit waktu yang diperlukan untuk melaksanakan shalat dengan khusyuk. Bukan sesuatu yang mengherankan, banyak kaum muslimin bekerja banting tulang sejak matahari terbit hingga terbenam. Pertanyaannya, kenapa mereka melakukan hal itu? Karena mereka mengetahui bahwa hidup perlu makan, makan perlu uang, dan uang hanya didapat jika bekerja. Karena mereka mengetahui keutamaan bekerja keras, maka mereka pun melakukannya. Oleh karena itu, dalam tulisan yang singkat ini, kami akan mengemukakan pembahasan keutamaan shalat lima waktu dan hukum meninggalkannya. Semoga dengan sedikit goresan tinta ini dapat memotivasi kaum muslimin sekalian untuk selalu memperhatikan rukun Islam yang teramat mulia ini.
Kedudukan Shalat dalam Islam
Shalat memiliki kedudukan yang agung dalam islam. Kita dapat melihat keutamaan shalat tersebut dalam beberapa point berikut ini[1].
1) Shalat adalah kewajiban paling utama setelah dua kalimat syahadat dan merupakan salah satu rukun islam
Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara, yaitu: bersaksi bahwatiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitulloh, dan berpuasa pada bulan Ramadhan.”[2]
2) Shalat merupakan pembeda antara muslim dan kafir
Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya batasan antara seseorang dengan kekafiran dan kesyirikan adalah shalat. Barangsiapa meninggalkan shalat, maka ia kafir” [3]. Salah seorang tabi’in bernama Abdullah bin Syaqiq rahimahullah berkata, “Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.”[4]
3) Shalat adalah tiang agama dan agama seseorang tidak tegak kecuali dengan menegakkan shalat
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.”[5]
4) Amalan yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta’ala  mengatakan,’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.”  Dalam riwayat lainnya, ”Kemudian zakat akan (diperhitungkan) seperti itu. Kemudian amalan lainnya akan dihisab seperti itu pula.”[6]
5) Shalat merupakan Penjaga Darah dan Harta Seseorang
Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda, ”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau mengucapkan laa ilaaha illalloh (Tiada sesembahan yang haq kecuali Allah), menegakkan shalat, dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan semua itu, berarti mereka telah memelihara harta dan jiwanya dariku kecuali ada alasan yang hak menurut Islam (bagiku untuk memerangi mereka) dan kelak perhitungannya terserah kepada AllaTa’ala.”[7]
Keutamaan Mengerjakan Shalat 5 waktu
Shalat memiliki keutamaan-keutamaan berupa pahala, ampunan dan berbagai keuntungan yang Allah sediakan bagi orang yang menegakkan sholat dan rukun-rukunnnya dan lebih utama lagi apabila sunnah-sunnah sholat 5 waktu dikerjakan, diantara keutamaan-keutamaan tersebut adalah:
1) Mendapatkan cinta dan ridho Allah
Orang yang mengerjakan shalat berarti menjalankan perintah Allah, maka ia pantas mendapatkan cinta dan keridhoan Allah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (wahai muhammad): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
2) Selamat dari api neraka dan masuk kedalam surga
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzab: 71). Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi Rahimahullahu ta’alaberkata, “Yang dimaksud dengan kemenangan dalam ayat ini adalah selamat dari api neraka dan masuk kedalam surga”[8]. Dan melaksanakan sholat termasuk mentaati Allah dan Rasul-Nya.
3) Pewaris surga Firdaus dan kekal di dalamnya
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman … dan orang-orang yang memelihara sholatnya mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Mu’minun: 1-11)
4) Pelaku shalat disifati sebagai seorang muslim yang beriman dan bertaqwa
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al Baqarah: 2-3)
5) Akan mendapat ampunan dan pahala yang besar dari  Allah
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 35)
6) Shalat tempat meminta pertolongan kepada Allah sekaligus ciri orang yang khusyuk
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. Al Baqarah: 45)
7) Shalat mencegah hamba dari Perbuatan Keji dan Mungkar
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Ankabut: 45)
Hukum Meninggalkan Shalat
Di awal telah dijelaskan bahwa shalat merupakan tiang agama dan merupakan pembeda antara muslim dan kafir. Lalu bagaimanakah hukum meninggalkan shalat itu sendiri, apakah membuat seseorang itu kafir?
Perlu diketahui, para ulama telah sepakat (baca: ijma’) bahwa dosa meninggalkan shalat lima waktu lebih besar dari dosa-dosa besar lainnya. Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[9]
Adapun berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat, kami dapat rinci sebagai berikut:
Kasus pertama: Meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.
Kasus kedua: Meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya.  Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in. Contoh hadits mengenai masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[10]
Kasus ketiga: Tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah (Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya).[11]
Kasus keempat: Meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.
Kasus kelima: Mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5)[12]
Nasehat Berharga: Jangan Tinggalkan Shalatmu!
Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“
Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“[13]
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini  hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).“[14]
Semoga tulisan sederhana ini dapat memotivasi kita sekalian dan dapat mendorong saudara kita lainnya untuk lebih perhatian terhadap shalat lima waktu. Hanya Allah yang memberi taufik. [15]
Penulis: Rahmat Ariza Putra